Law of Attraction tidak mempan?

Berhenti menganggap semesta sebagai agen pengantar barang di seberang sana. Sebaliknya, perhatikan hukum semesta dan tunduklah pada aturannya.
Like attract like, Kemiripan menarik kemiripan. Itulah bunyi teori Law of Attraction, atau hukum tarik-menarik. Satu pikiran akan menarik pikiran yang kurang-lebih sejenis atau bersangkutan yang menjadikan satu pikiran tadi bertumbuh menjadi lebih kompleks. Kita anggap saja satu pikiran awal tadi bagai sebuah benih pohon anggrek. Benih itu bukanlah pohon anggrek. Benih itu hanyalah benih yang merupakan sebuah “potensi pohon anggrek”. Dan jika ditanam, benih itu akan mulai tumbuh sesuai dengan sifat potensialnya—Ia akan menjadi pohon anggrek. Bukan pohon apel atau mangga.

Begitupula terjadi hukum yang sama terhadap pikiran. Dalam hitungan detik, setiap timbul suatu pikiran, maka pikiran itu akan menarik pikiran yang kurang-lebih serupa atau bersangkutan yang menghasilkan sebuah pemikiran yang lebih kompleks. Inilah yang sering terjadi dalam proses pencarian ide (menulis lagu, menggambar, menulis cerita, menyusun rencana bisnis).

Jadi, ada dasar-dasar yang jelas dan rasional dibalik teori Law of Attraction. Banyak penelitian dan eksperimen-eksperimen nyata yang telah dilakukan. Secara empiris (secara pengalaman), anda bisa membaca kisah orang-orang yang mengalami euforia terkait dengan menjalankan gaya hidup Law of attraction ini. Bahkan anda bisa mengalaminya sendiri (walau sebetulnya anda telah mengalaminya, dan masih akan terus mengalaminya dalam ketidak sadaran sampai anda memahaminya).

Bagi yang hanya mengenal teori ini dari buku-buku ringan dan praktis seperti the secret, mungkin awalnya ada perasaan euforia yang tak tertahankan ketika mengetahui “keajaiban” hukum ini, ketika mengetahui betapa kita bisa “mengubah hidup”. Dalam hitungan hari, banyak keajaiban-keajaiban kecil terjadi yang membenarkan teori ini, dan mereka sangat senang. Tetapi jauh di dalam hati mereka, sadar ataupun tidak, ada perasaan, “Oh ini terlalu bagus. Pastilah saya telah berpikir berlebihan. Ini mungkin hanya kebetulan saja.” Dan yap, segalanya berjalan datar lagi. Law of Attraction tidak mempan.

Di satu titik, kita mungkin ingin mencobanya lagi. Tetapi kali ini keragu-raguan membayangi tindakan kita. Keyakinan kuat yang kita miliki di awal-awal tidak bisa dipancarkan lagi. Dan semakin dipaksakan untuk yakin, justru semakin sulit. Akhirnya, kita memutar badan dan meninggalkannya. Law of Attraction tidak mempan.

Kita mulai skeptis terhadap teori ini. Banyak ketidak efektifan yang kita temui melalui pengalam kita. Segera saja, kita mulai terjun dalam “pesimisme yang meyakinkan”. Tetapi sayangnya ketika pikiran kita terus berubah-ubah tanpa bisa dihentikan, kita mulai lupa bahwa “Like attract Like”. Kemiripan menarik kemiripan. Jadi, apapun jenisnya, hasilnya adalah cermin dari pikiran yang menumpuk menjadi “Sikap Mental” yang mendominasi.

Saya ingin mengajak anda sedikit bereksperimen. Dan apa yang saya sampaikan ini sangat penting sebagai bahan pertimbangan anda : Cobalah anda buka tulisan-tulisan mengenai para pemikir pesimistik. Bacalah tulisan-tulisan mereka. Saya berani bertaruh anda akan mendapati sebuah gagasan masuk akal tentang betapa buruknya dunia. Kemudian, sebelum pemikiran itu tertanam ke pikiran bawah sadar dan menjadi sikap mental anda, bukalah tulisan-tulisan para pemikir optimistik. Bacalah dengan seluruh perhatian gagasan-gagasan mereka. Dan, Ya.. Anda akan menemukan kebenaran-kebenaran membahagiakan tentang betapa baiknya dunia kita ini. Anda lihat?

Selalu ada jalur untuk tumbuh bagi pikiran apapun. Dan pikiran hanyalah sebatas pikiran sampai dia menarik pikiran yang kurang-lebih sejenis atau bersangkutan, kemudian terus menarik pikiran lain yang berhubungan, tumbuh menjadi gagasan kompleks, tertanam ke pikiran bawah sadar, mempengaruhi keadaan emosi, menjadi sikap mental, dan jika sudah begini, tinggal menunggu waktu untuk melihat pikiran itu dalam peristiwa hidup.

Begitulah hukum tarik menarik bekerja. Kuncinya adalah Sikap Mental. Jika sikap mental kita negatif, maka keyakinan yang baik akan sulit muncul yang membuat perwujudan keinginan ditunda. Dan perlu diingat, ini bukanlah menandakan bahwa hukum tarik-menarik tidak mempan. Hukum tarik-menarik selalu bertindak sesuai dengan pikiran dan emosi yang mendominasi dengan diiringi sikap mental yang dipelihara. Selalu begitu. Sama pastinya dengan satu ditambah satu sama dengan dua.

Oleh karena itu, ubahlah anggapan bahwa semesta adalah seorang agen pengantar barang di seberang sana. Sebagai permulaan, lupakan keinginan menguji teori ini dengan mencoba menarik benda materi. Mulailah memikirkan pikiran bahagia, damai, dan tanpa beban. Maka pikiran-pikiran tadi akan menjalankan proses Like attract Like. Biarkan itu terjadi. Biarkan benih-benih itu tumbuh. Jangan pernah menekannya dengan pikiran-pikiran yang berlawanan. Sebaliknya pusatkan perhatian terus menerus pada kebenaran tentang Semesta yang Ramah, dunia yang indah dan sebagainya. Ini amat sulit pada awalnya. Dan biasanya, inilah yang membuat banyak orang enggan.

Bayangkan, ketika begitu banyak ketidakharmonisan di depan mata kita, kita justru disuruh memikirkan keharmonisan. Itu hampir sama dengan mengatakan bahwa api itu dingin. Jadi, masuk di akal jika banyak orang yang berhenti pada tahap ini.

Tetapi ingatlah, Like attract Like. Teruslah, dengan rileks, berpikir positif. Alihkan pikiran dari tekanan-tekanan. Lakukan ini sampai menjadi kebiasaan. Arti Kebiasaan di sini adalah kondisi di mana pikiran positif terpancar dengan sendirinya tanpa perlu usaha. Ketika kita sudah sampai pada kondisi berpikir positif dengan otomatis dan sering, itu artinya pikiran bawah sadar kita telah menerimanya dan mengolahnya menjadi sikap mental kita. Kemudian bukalah mata anda lebar-lebar. Di fase ini, dalam sikap mental yang baru, anda mulai lupa bagaimana rasanya memiliki sikap mental negatif. Dan itu artinya anda sudah menjadi orang baru yang siap menyelaraskan diri dengan Law of Attraction. Anda akan lebih melek dengan tidak menganggap Law of Attraction sebagai alat yang bisa digunakan. Tetapi sebuah aliran kehidupan dan kita bisa menyelaraskan diri dengannya. Bukanlah semesta yang menuruti kita untuk memberi apa yang kita inginkan. Tetapi kitalah yang harus tunduk pada hukum semesta, untuk mendapatkan apa yang kita inginkan.

-Dwiputra Agung-

Lampu Aladin

Yang penting adalah bagaimana caramu memandang dunia, bukan bagaimana cara orang memandangmu.

Dari situ kau akan membuka kunci pintu menuju keajaiban. Karena ketika kau telah menentukan bagaimana caramu memandang kehidupan, maka apa yang ada dalam hidupmu termasuk situasi dan orang-orang akan memandangmu nyaris dengan cara yang sama dengan caramu memandang dunia.

Jika hari ini kau memutuskan untuk memandang hidup sebagai baik dan penuh kegembiraan, dan berfokus penuh kepada pemikiran itu, maka kau akan bertindak selaras dengan keyakinan bahwa hidup memang baik dan penuh kegembiraan. Bersamaan dengan itu, sedikit demi sedikit kehidupan disekitarmu akan merespons pola pikirmu yang baru. Situasi-situasi menggembirakan akan berebut berdatangan, orang-orang akan melihat energimu dan mulai bersikap selaras dengan kegembiraanmu.

Pernyataan ini masuk di akal, karena pikiran harus mendahului tindakan. Tindakan pribadi harus mendahului reaksi luar. Sebab selalu mendahului akibat, dan akibat akan diikuti dengan akibat lanjutan, dan begitu seterusnya.

Maka benarlah jika kita sering mendengar ungkapan, “mulailah dengan yang baik”. Kalimat itu adalah kebenaran yang memberitahu kita bahwa hidup adalah serentetan sebab akibat yang tak bisa diputus kecuali dengan kesadaran akan hukumnya. Ketika kita menyadari bahwa kita sedang terombang-ambing oleh kekuatan sebab-akibat yang selama ini tidak kita sadari, maka kita bisa memutus rantai ini dengan memulai segalanya dari awal dengan Sadar. “Mulailah dengan yang baik.”

Kata ‘baik’ sebaiknya jangan dilebih-lebihkan sebagai sesuatu yang suci atau sesuatu yang membutuhkan pengorbanan. Baik adalah kebahagiaan. Coba pikirkan sebentar, adakah kejahatan atau keburukan dalam kebahagiaan? Ingatlah bahwa kebahagiaan bukanlah kesenangan. Seorang pencuri bisa saja merasa senang ketika ia berhasil mencuri sebuah mobil, tetapi ia tidak bahagia. Mustahil seseorang bisa merasa bahagia karena ia merugikan orang lain. Senang? mungkin. Tetapi senang hanya terasa di permukan, tidak sampai pada kedalaman batin. Dan itu hanya bersifat sangat sementara.

Jadi sekarang anda sudah mendapatkan gambaran bahwa kebahagiaan adalah kebaikan. Coba bayangkan sekali lagi, di dalam kebahagiaan tidak ada keinginan untuk mencuri, tidak ada keinginan untuk memaksa kehendak orang lain, tidak ada keinginan untuk mengutuk situasi seburuk apapun itu, tidak ada tindakan-tindakan yang akan merugikan siapapun jika motivasinya adalah kebahagiaan. Mulailah sesuatu dengan yang baik. Mulailah dari merasa bahagia. Pandanglah bagian langit yang cerah. Semesta ini sungguh hidup dan memiliki kecerdasan. Kita bisa meminta untuk dimunculkan keindahan-kehindahan yang dimiliki semesta. Kita bisa berkomunikasi dengan semesta melalui perasaan kita. Buktikan sendiri, dan kau akan menyadari bahwa kau tidak pernah sendirian. Selama ini kau melakukan komunikasi dua arah dengan apa yang kau sebut “Kehidupan”. Di dalam, kau berpikir dan merasa; di luar, kehidupan merespon. Dan ketika kau melakukannya dengan sadar, maka kau akan tersenyum sendiri melihat keajaiban itu. Keajaiban bahwa ada sesuatu yang hidup yang terus menyodorkan apa yang mampu kau “percayai”. Itulah Lampu Aladin.

-Dwiputra Agung-

Memandang Konflik Antar Golongan Secara Jernih

Entah sudah berapa ribu tahun peradaban manusia menempati bumi tercinta ini. Tetapi kita semua tahu, masalah utama umat manusia di zaman sekarang masih sama dengan masalah peradaban manusia berpuluh-puluh abad yang lalu. Yaitu konflik dari perbedaan, entah itu ideologi, agama, atau politis, yang menimbulkan kekerasan dan peperangan. Ini adalah fakta yang sama-sama kita tahu, bukan gagasan atau ide-ide semata.

Dengan kacamata awam tanpa kemampuan seorang ahli, saya ingin mengajak anda untuk membedah akar masalah kemanusiaan dan melihat dengan sejernih-jernihnya kondisi yang melatar-belakangi keruwetan-keruwetan di dunia ini. Mari kita duduk bersama dalam kesetaraan, dalam posisi ketidaktahuan yang sama, dan mulai melihat segalanya dengan pikiran-pikiran tanpa prasangka dan bersih dari keberpihakan, karena jika kita masih memegang suatu kebenaran tertentu, dan mencoba menyelidiki suatu masalah sambil memegang kebenaran itu, maka kita tak akan menemukan kejernihan. Kita hanya akan membongkar pasang teori-teori dan metode-metode yang tidak akan berguna sama sekali untuk “melihat keadaan yang sebenarnya”.

Untuk itu, mari kita muali membedah masalah kemanusiaan dari hal yang paling mendasar dan sederhana. Masalah yang akan kita bedah bersama-sama adalah masalah utama yang telah menggoreskan tinta sejarah di masa lalu hingga memenuhi layar kaca di rumah kita hari ini, yaitu konflik kekerasan atau peperangan yang diakari perbedaan pandangan entah itu agama, ideologi atau lain hal.

Dasarnya adalah perbedaan pandangan. Mari kita mulai dari situ. Apakah perbedaan itu? Dari mana asalnya? Jelas perbedaan adalah sudut pandang berbeda dari dua individu, itu bisa dilatar belakangi oleh lingkungan yang berbeda, budaya, agama, dan kebangsaan yang berbeda. Intinya itu isi pikiran yang berbeda-beda. Dan darimanakah asalnya isi pikiran itu. Tentu anda setuju jika isi pikiran pastilah berasal dari pengalaman yang terakumulasi dari pendidikan orang tua, sekolah, pertemanan, penceramah agama, buku-buku termasuk kitab, televisi, dan segala hal lain yang masuk melalui indera kita.

Sementara secara ruang dan waktu, secara fisik, manusia menempati tempat-tempat berbeda di bumi ini. Dengan kebiasaan yang berbeda, tradisi, budaya, dan agama yang terciptapun pastilah berbeda di setiap tempat. Dari pemikiran-pemikiran yang sudah berbeda ini yang sudah terlanjur mendarah daging, zamanpun berganti zaman. Sekelompok besar orang di satu daerah, bertemu dengan sekelompok besar orang dari daerah lain. Yang secara alami dan kebetulan memiliki tradisi, kebudayaan, dan agama yang berbeda.

Dari situ terciptalah kontradiksi yang melahirkan konflik. Bagi si A dialah yang benar, dan si B salah. Begitupun sebaliknya bagi si B, bukankah begitu? Sebaiknya anda jangan cepat untuk bilang setuju atau tidak setuju. Tetapi selidikilah dengan teliti pemahaman yang kita capai sampai sejauh ini. Setelah anda dan saya dapat memandang melalui kejernihan barulah kita bisa melanjutkan penyelidikan kita.

Bertemunya dua kubu yang memiliki isi pikiran atau pandangan tentang kebenaran yang berlawanan ini adalah asal mula dari semua konflik dari sejarah. Tak ada perbedaan, maka tak ada konflik. Tak ada konflik, maka tak ada perang. Tak ada perang, maka yang tersisa hanyalah kedamaian. Tetapi mengapa ada perbedaan? Kita sudah membahasnya bahwa perbedaan erat sekali kaitannya dengan dimana kita tinggal, dan dengan cara apa kita hidup beserta kebiasaan-kebiasaannya. Jadi perbedaan adalah sesuatu yang alami. Kalau begitu apakah kekerasan dan perang adalah sesuatu yang alami, mengingat sebabnya adalah perbedaan yang tercipta secara alami?

Mari kita selidiki hal ini secara mendalam. Anda dan saya hidup di tempat yang berbeda, dalam keluarga yang berbeda. Kita setuju bahwa kita memiliki perbedaan sudut pandang, walaupun mungkin agama kita sama. Ketika kita bertemu dan berbincang-bincang tentang segala sesuatu, maka kita masing-masing akan berbicara dari sudut pandang berbeda. Itu alami, tentu saja. Tetapi kemudian, dalam perbincangan kita, kita akan menemukan kontradiksi yang bisa melahirkan konflik entah itu secara fisik atau non-fisik. Tetapi jika kita cukup sadar-diri dan waspada, maka kita akan mendapati pemahaman bahwa perbedaan adalah alami. Dan tentu saja kita tidak bisa menghakimi sesuatu yang terjadi secara alami. Itu adalah cara memandang melalui kejernihan. Mohon jangan percayai apa yang saya katakan kecuali anda memahaminya juga.

Selanjutnya, kita ambil contoh lain. Jika anda dan saya seperti kebanyakan orang yang bertanggung jawab atas konflik-konflik di dunia ini, saling memegang kebenaran masing-masing dan menganggap apa yang di luar kebenaran kita sebagai salah, maka konflik antara saya dan anda tak akan terelakan. Kita akan memulai lagi pola-pola yang diulang-ulang jutaan kali yang dilakukan orang-orang dari zaman purbakala ; Bertemu, berbicara, berdebat, berkelahi, saling bunuh, dan mati. Entah secara metaforis atau secara harfiah.

Mungkin konflik eksternal bisa dibatalkan jika kita tidak memaksakan kebenaran kita kepada orang yang menggenggam kebenaran pribadi yang lain. Tetapi konflik dalam diri atau konflik batin masih akan kita alami jika sudut pandang kita masih dipenuhi dengan ide-ide tentang yang salah dan yang benar. Itulah poin yang selalu mengikuti kekerasan dan konflik ; salah dan benar.

Tetapi kita semua tahu, setiap orang, setiap agama, setiap ideologi bangsa, entah itu komunis atau demokrasi, memiliki “kebenarannya” masing-masing yang jika berbenturan akan menciptakan konflik. Selama ini anda dan saya selalu menempatkan diri dalam suatu golongan tertentu, agama tertentu, ideologo tertentu, yang darinya kita tidak bisa lagi memandang persoalan dengan sebagaimana adanya. Pandangan kita sudah terdistorsi oleh ideologi yang kita pegang, agama yang kita anut. Sementara di pihak lain, sekelompok orang mengalami dan merasakan hal yang sama dengan ideologi bangsa dan agama yang berbeda. Kemudian kita dan mereka saling berdebat tentang kebenaran yang tak kunjung mencapai titik temu kesepakatan dalam argumentasi-argumentasi “kita” lawan “mereka”. Sevbagai pendekatan untuk mengakhiri konflik dan menciptakan perdamaian dalam hal ini, maka, lahirlah apa yang dinamakan Toleransi. Toleransi adalah tanda dimana tidak ditemukannya kesinkronan antara kebenaran kita dan kebenaran mereka. Toleransi adalah efek dari terbenturnya dua perbedaan yang tidak dapat menyatu.

Tetapi apakah dengan toleransi kekerasan dan konflik di dunia dapat diakhiri. Tidak selamanya. Toleransi hanya berefek positif bagi mereka yang tidak memiliki sifat fanatik pada kebenarannya. Tetapi ada orang-orang, kelompok-kelompok yang amat melekat pada ideologi dan agamanya yang menciptakan kefanatikan berlebihan yang kemudian menebas Toleransi yang telah mereka sepakati sebelumnya dengan pedang yang mereka anggap suci.

Akhrinya kita mendapati bahwa Toleransi hanya bisa berefek bagi mereka yang tidak memiliki kefanatikan berlebihan. Maka, untuk memandang semua ini, marilah kita menempatkan diri ke posisi non-blok atau ketidakberpihakan untuk mendapati sudut pandang dari atas dan melihat semuanya sebagai gambar besar, yang setiap elemen-elemen adalah bagian dari kesatuan. Saya rasa jika memang ada Tuhan, maka kurang lebih seperti itulah cara Dia memandang dunia. Tidak dengan mendukung sekelompok orang dan memusuhi sekelompok orang lainnya. Kita sudah membahas bahwa kepercayaan agama pada awalnya berbeda di setiap tempat. Itu mirip dengan suku-suku yang memiliki mitos tersendiri di setiap daerahnya. Tetapi kemudian mereka merasa menjadi pihak yang paling benar, dan yang lain adalah salah, bahkan kafir. Kemudian mereka berambisi untuk memperluas sistem kepercayaan mereka dan memaksa semua orang untuk ikut dalam golongan mereka dengan ancaman-ancaman mengerikan yang menunggu di dunia setelah kematian.

Seperti yang kita ketahui bersama, perluasan sebuah sistem kepercayaan atau agama selalu diikuti dengan pertumpahan darah. Ini tak lain karena disebabkan, seperti yang sudah kita bahas tadi, dua kubu berbeda yang bertemu dan saling berpegangan pada kebenarannya masing-masing. Sekali lagi saya katakan bahwa janganlah cepat menyetujui atau tidak menyetujui. Melainkan selidiki dengan teliti segalanya dengan batin yang hening.

Setiap agama memiliki kitab yang dianggap sebagai tolak ukur akan hal yang benar dan salah. Tetapi di dunia ini ada banyak agama, dan banyak kitab. Kita terlahir dengan memasuki salah satu golongan dari itu yang jelas akan membuat tolak ukur kita tentang benar dan salah berbeda dengan tolak ukur orang yang terlahir di golongan yang lain. Sekali lagi, perbedaan ini adalah alami.

Tetapi apakah kita tidak menjadi gelisah dengan pertanyaan-pertanyaan yang rasanya agak ekstrim bagi beberapa orang? : Apakah kebenaran itu benar pada satu kitab, dan salah pada kitab lainnya? Mohon jangan bilang bahwa kita akan membuktikannya setelah kematian. Saya ragu bahwa kita bisa bertemu lagi di sana. Untuk membebaskan diri kita dari konflik utama dunia sepertinya jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu diperlukan. Apakah agama dari Arab benar sementara agama dari tempat lain itu salah? Atau apakah agama dari india yang benar sementara agama yang lain keliru? Kalau begitu hidup ini jadi seperti judi. Kita bertaruh untuk memilih satu kitab dan akan mendapatkan kepastian kebenarannya setelah kematian nanti. Kalau kita memilih yang benar maka kita akan memperoleh jackpot kenikmatan surga dan jika salah pilih kita akan disiksa di api abadi. Apakah Tuhan sedang mempermainkan kita?

Oke! Mungkin anda bilang dalam kitab anda ada banyak kebenaran-kebenaran yang terbukti secara ilmiah dan secara batiniah. Tetapi di kitab orang lain juga terdapat pembuktian semacam itu. Jadi kembali ke pertanyaan semula, Apakah kebenaran hanya ada dalam satu kitab sementara kitab yang lain keliru? Atau jangan-jangan kebenaran tidak ada dalam kitab manapun? Jika kita menyingkirkan ilusi rasa takut yang dibebani dari ancaman-ancaman para penceramah agama, sangat mungkin kita akan menyetujui pertanyaan kedua.

Lalu apakah semua kitab keliru? Semua kitab rasanya telah berusaha untuk menggambarkan kebijaksanaan dengan semampunya. Tetapi kitab tidaklah mutlak benar. Kitab adalah kata-kata yang ditulis. Dan kata-kata selalu menghasilkan tafsir yang berbeda-beda. Terlebih lagi dalam organisasi agama tertentu ada otoritas yang kita sebut sebagai ahli tafsir dan hanya kepadanyalah kita menggantungkan pengertian kita pada isi kitab kita. Malah ada larangan untuk menafsirkan kitab itu secara pribadi. Jadi kita dipaksa tunduk pada otoritas di luar diri yang kodratnya sama dengan kita : Seseorang yang memiliki sudut pandang pribadi yang belum tentu sama dengan sudut pandang kita. Jadi si ahli tafsir inilah yang kita anggap sebagai pemegang kunci kebenaran. Ketika si ahli tafsir berkata, “perangi orang-orang kafir”. Apa yang akan kita lakukan jika kita menyandarkan tindakan kita pada otoritasnya? Tanyalah hati nurani anda. Hati nurani anda lebih tahu apa yang sebaiknya dilakukan dan apa yang sebaiknya tidak dilakukan.

Disini kita menemukan bahwa hati nurani lebih dapat dipercaya ketimbang kitab agama. Mari kita renungkan tentang hati nurani. Semua orang mempunyainya. Bahasanya hati nurani hampir selalu sama bagi semua orang dari semua golongan jika kita mau mendengarkannya. Tanyalah hati nurani anda, tepatkah jika kita membunuh sesama demi membela Tuhan? Apakah Tuhan mendukung ciptaannya yang satu dan memusuhi ciptaanya yang lain? Apakah Tuhan mempunyai musuh? Jangan mencari jawaban ini dari kitab manapun kalau anda tak ingin mendapatkan banyaknya jawaban yang berbeda-beda. Tetapi tanyalah hati nurani anda sendiri. Maka jawaban alamiah akan muncul begitu saja. Pemahaman yang jernih akan kebenaran tidak bisa didapat melalui bacaan apapun kecuali dialog antara anda dan hati nurani anda sendiri. Ini berlaku Universal, untuk setiap orang.

Akal mungkin akan membawa anda pada spekulasi-spekulasi yang jauh menyimpang dari kebenaran. Tetapi hati nurani tetap konsisten pada pendapatnya sendiri.

Disini sepertinya kita telah sampai pada titik temu yang mengakari segala konflik kekerasan dan perang dari masa lalu hingga saat ini. Akal yang tidak diikuti hati nurani akan melahirkan ideologi kebangsaan, agama, dan pandangan-pandangan pribadi yang berbeda-beda, tetapi hati nurani menyatakan, perbedaan itu semua adalah ilusi yang dibuat oleh pikiran dari orang-orang di masa lalu dan di turunkan dari generasi ke generasi. Dan kita membuat dunia ini semakin ruwet dengan menciptakan ideologi baru, pegangan-pegangan baru, sandaran-sandaran baru. Ideologi adalah sumber pemisahan antar manusia yang sesungguhnya adalah Satu.

Ilusi pikiran. Itulah benihnya. Itulah yang menciptakan gagasan-gagasan akan “kebenaran”. Itulah yang membuat “kita” bertentangan dengan “mereka”. Di sana-sini orang-orang mengibarkan bendera dengan warna yang berbeda-beda, meneriakan orasi yang berbeda-beda, padahal sebetulnya perbedaan itu adalah buatan pikiran kita sendiri. Pikiran yang terealisasi melalui proses penciptaan yang tidak disadari. Atau mungkin pikiran yang kita salin dari pikiran orang yang kita anggap guru tanpa diselidiki lebih jauh lagi. Kita menerima mentah-mentah segala ide-ide dari otoritas agama, politik, bahkan teman-teman kita sendiri. Segala sesuatu haruslah dikaji, jangan diinstal begitu saja jika anda tak ingin terjangkit virus.

Diakhir tulisan ini saya ingin mengingatkan lagi untuk jangan mempercayai apa yang saya katakan, melainkan pahami dan amati saja apa yang terjadi disana-sini. Faham-faham yang berbeda bukanlah soal siapa yang benar, melainkan siapa yang lebih dulu sadar. Sampai kapanpun, selama anda berada dalam suatu golongan tertentu, satu faham tertentu, tak akan pernah ada kebebasan. Tak ada kebebasan berarti terdapat konflik. Jika begitu, jangan berteriak-teriak untuk mengakhiri segala konflik sementara anda mengangkat bendera anda.

Akhir kata, ini bukanlah filosofi atau golongan pemikiran baru yang justru akan membuat perbedaan lebih lanjut, konflik lebih jauh. Ini hanyalah renungan-renungan yang sebetulnya sangat sederhana jika kita mau melepas kacamata berwarna yang selama ini mendistorsikan penglihatan kita. Langit memang akan tampak merah jika anda menggunakan kacamata merah. Dan anda mungkin akan berdebat dengan saya yang mengatakan bahwa langit berwarna hijau. Anda dan saya tak akan mendapatkan titik temu kecuali kita sadar-diri dan mulai melepas kacamata kita.

-Dwiputra Agung

Dialog Imajiner Dengan Tuhan

Ini hanyalah Dialog Imajiner.

Ketika aku menuliskan sebuah pertanyaan, jawabannya muncul begitu saja di kepalaku. Sebenarnya aku meniru trik ini dari Neale Donald Walsch. Aku tidak ingin mengklaim bahwa jawaban itu datang dari Tuhan seperti halnya buku Conversation with God. Aku hanya melakukannya untuk hiburan belaka. Tetapi di sini aku menemukan poin-poin inspirasi dan terdorong untuk membagikannya denganmu.

Ini dia :

* * *

Tuhan aku ingin menuliskan obrolan kita di sini seperti halnya Neale Donald Walsch. Kau kenal dia ‘kan?

Apa menurutmu ada yang tidak Aku kenal?

Tidak, tentu saja. Aku cuma bercanda. Jadi apakah aku harus memulainya dengan bertanya?

Kau baru saja bertanya, dan Aku menjawab : Terserah padamu.

Ah, Kau cerdas.

Akulah satu-satunya kecerdasan. Kau dan semua orang hanyalah bagian-bagian kecil dariku.

Apakah kau sedang mengalami.. Hmm.. Yah.. Kesombongan?

Sombong ataupun tidak, itu adalah penilaianmu yang sudah terbiasa dengan dunia relatif. Aku hanya mengatakan kebenaran. Tidak kurang dan lebih dari sebagaimana adanya.

Oke. Aku mengerti, mari kita mulai.

Tuhan, akhir-akhir ini aku sulit untuk menentukan apa yang kuinginkan. Bagaimana itu bisa terjadi?

Karena Kau mempertimbangkan apa yang kau inginkan dengan apa yang orang lain lihat jika keinginanmu itu terwujud.

Maksudnya?

Begini, kau selalu mempertimbangkan untuk mewujudkan keinginan untuk membuat orang lain terkesan.

Hmm rasanya aku memang sering membayangkan itu.

Tetapi di sisi lain, ada bagian dirimu yang tahu, bahwa itu bukan keinginan murni.

Rasanya aku mengerti.

Itu adalah keinginan untuk diakui. Keinginan untuk melihat reaksi orang yang terkesan pada apa yang kau hasilkan.

Memangnya apa yang salah dengan keinginan semacam itu?

Dalam gambar besar, tidak ada yang salah, tentu saja. Tetapi tadi kau bertanya mengapa kau bingung menentukan apa yang kau inginkan. Jadi aku memberitahu sebabnya. Jika kau mengejar sesuatu agar disetujui orang lain, maka sesuatu yang kau kejar itu tidak bernilai sama sekali bagimu.

Bahkan jika aku menginginkan sebuah rumah idaman?

Tidak ada nilainya bagimu jika yang kau kejar adalah pengakuan, dan rasa terkesan dari orang lain. Sebab, mungkin awalnya mereka akan terkesan. Tetapi seiring waktu berlalu, mereka akan kembali menjadi normal lagi. Rasa terkesan mereka lambat laun akan lenyap. Bahkan ada juga diantara mereka yang cuma pura-pura terkesan untuk menyenangkanmu. Dan kau akan frustasi dengan itu, sehingga rumah idaman yang kau milikipun tak sanggup menghilangkan kekecewaanmu atas reaksi orang lain yang tidak sesuai harapanmu.

Tetapi aku bisa menikmati rumah idaman itu tanpa persetujuan orang lain ‘kan?

Jika niatmu memang untuk mengalami itu (memiliki rumah idaman) tanpa menyangkut penilaian orang lain, maka itu bagus.

Tetapi mengapa aku masih bingung tentang apa yang kuinginkan. Maksudku, aku memang menginginkan rumah idaman tetapi tidak begitu berhasrat seperti dulu. Mengapa begitu?

Berarti kau tidak terlalu menginginkannya.

Ah, rasanya sulit untuk berpikir bahwa aku tidak menginginkan rumah idaman.

Kau menginginkannya, tetapi tidak terlalu.

Lalu apa yang sebetulnya aku inginkan?

Menurutmu apa?

Aku sedang bertanya pada-Mu.

Mustahil Aku mengetahui apa yang benar- benar kauinginkan sementara di dalam hatimu tidak ada daftar apapun tentang apa yang benar-benar kauingkan.

Tidak mungkin.

Apanya yang tidak mungkin?

Tidak mungkin aku tidak memiliki daftar itu, aku sering menuliskannya di memo handphone-ku.

Kau tidak terlalu menginginkan itu semua karena daftar keinginan yang kau catat selama ini selalu yang berkaitan dengan bagaimana orang lain menilaimu. Coba bebaskan dirimu dari ilusi tentang pikiran orang lain. Kau selalu berputar-putar di sekitar pikiran-pikiran yang mungkin dimiliki orang lain. Itu tidak penting. Dan kebanyakan orang di saat ini sering memulai banyak hal dengan gambaran tentang apa yang orang lain pikirkan ketika mereka melakukan, menjadi, dan memiliki ini atau itu.
Kuberitahu satu hal padamu : tak seorangpun betul-betul peduli dengan apa yang kau capai. Ini juga berlaku untuk semua orang. Sebab, untuk apa mereka peduli pada pengalamanmu sementara mereka sibuk dengan pengalaman mereka masing-masing.

Bahasamu mirip dengan tulisan di buku yang pernah ku baca—

Kau yang memulai dengan pola bahasa itu. Aku hanya mengikuti bagaimana caramu berbicara agar dialog ini mudah.

Kau memang Maha-Cerdas. Baiklah kembali ke dialog. Aku terkejut, tapi rasanya aku mulai mengerti. Tetapi ada sesuatu yang membuatku merasa tak nyaman di sini. Yaitu, jika tak seorangpun betul-betul peduli pada apa yang aku capai, lakukan, dan miliki, apakah kita begitu tak bernilainya?

Pertanyaanmu barusan menjawab pertanyaan awalmu lagi tentang mengapa kau sulit menentukan apa yang benar-benar kau inginkan. Kau mencari nilai dari orang lain. Atau setidaknya kau memasuki unsur khayalan tentang reaksi orang lain, dan itulah yang membuat keinginanmu tidak murni lagi. Itulah yang membuat kau, lambat-laun, tidak bergairah akan keinginanmu. Fokusmu jauh lebih kuat akan reaksi orang lain ketimbang apa yang ingin kau capai.

Jadi aku harus menuntup telinga dan berbuat sesukaku tanpa mendengarkan komentar mereka?

Tepat.

… Menghilangkan semua orang sebagai pihak yang menyaksikan kesuksesanku.

Tidak, bukan seperti itu. Bukan menghilangkan semua orang sebagai pihak yang menyaksikan kesuksesanmu. Kau tidak bisa melakukan itu. Ketika kau bervisualisasi memiliki kehidupan yang kau inginkan, orang lain akan ada di situ. Tetapi jika keinginanmu cukup murni, kau akan melihat mereka dari sudut pandangmu. Bukan melihat dirimu sendiri dari sudut pandang mereka.

Kau sangat langsung ya.

Aku tahu kau telah mengerti sesuatu. Biar kubaca apa yang baru saja kau mengerti : Ketika membayangkan impianmu terwujud, kau akan merasa berkelimpahan jika kau melihat semuanya dari sudut pandangmu sendiri. Tetapi jika kau membayangkan, bagaimana reaksi orang lain ketika melihat impianmu terwujud, kau sama saja mencoba untuk menerapkan proses penciptaan melalui pikiran orang lain yang artinya adalah mustahil. Kau tidak bisa berpura-pura jadi orang lain yang takjub melihat dirimu yang berhasil mewujudkan impian besar. Kalau itu yang kau bayangkan, maka fokus energimu akan lebih kuat untuk mengubah orang lain, ketimbang mengunbah dirimu sendiri. Dan menurut hukum alam yang kuciptakan, itu tak akan berhasil.

Terimakasih, Tuhan. Aku menangkap maksudmu. Sekali lagi terimakasih karena Engkau bersedia menggunakan bahasa yang kupilih untuk kutulis di sini.

Aku tidak mungkin menggunakan bahasa yang tidak kau mengerti.

Kau benar. Tetapi, Tuhan, ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan.

Silakan.

Apakah aku akan merasa bahagia ketika impianku terwujud?

Apa kau pikir kebahagiaan terbesarmu bergantung pada terwujudnya impian?

Sejujurnya, ya. Aku berpikir begitu.

Kalau begitu kau tidak akan mendapatkan kebahagiaan yang kau pikir bisa kau raih ketika impianmu terwujud.

Mengapa begitu?

Karena kebahagiaan tidak ada dalam apapun selain dalam kesadaran akan kebahagiaan itu sendiri.

Bisa diperjelas.

Kau adalah kebahagiaan murni. Kau diciptakan dari itu. Tetapi di banyak waktu, kau melupakannya. Dan kau mulai mencari kebahagiaan dari luar yang cuma berakibat kesenangan dipermukaan yang sifatnya sangat sementara. Tak ada apapun diluar dirimu yang akan membuatmu bahagia jika kau tidak mengenali bahwa kebahagiaan sejati berasal dari dalam—dari inti dirimu. Jika kau bertindak atas dorongan kebahagiaanmu, jika kau bertindak dari hati terdalammu, maka hal-hal di luar dirimu akan mengikuti irama kebahagiaanmu. Itulah Harmoni.

Aku mengerti sekarang. Jadi kebahagiaan adalah sebab, bukan akibat?

Kebahagiaan bukanlah sebab ataupun akibat. Kebahagiaan bukanlah aksi maupun reaksi. Kebahagiaan adalah keadaanmu yang paling normal. Jika kau suatu hari menyadarinya (dan cepat atau lambat kau memang akan menyadarinya) kau akan mengerti mengapa kubilang bahwa kebahagiaan bukanlah sebab atau akibat. Tetapi dalam konteks pemahamanmu yang sekarang aku bisa bilang bahwa kebahagiaan memanglah sebab. Dan akibatnya adalah kebahagiaan yang lebih lanjut. Dengan kata lain, sekali lagi, untuk pemahamanmu yang sekarang, kebahagiaan harus dimulai dari keputusan sadar. Bukan reaksi. Perhatikanlah dalam semua pengalamanmu, sadar ataupun tidak, kaulah yang memutuskan untuk bahagia atau tidak-bahagia. Renungkanlah itu.

Ya, aku mengerti. Aku bisa mengingat momen-momen itu. Jadi apa yang harus kulakukan pada impianku?

Jadi kau masih membutuhkan perwujudan impianmu?

Tentu saja.

Tegas sekali. Kalau begitu, jangan mengikat dirimu dengan impianmu. Tetapi hidupilah impian-impian itu.

Maksudnya?

Kau ingin impian itu terwujud agar kau merasa bahagia, bukan?

Ya

Kalau begitu, sadarilah kebahagiaan dari sekarang.

Apa itu bisa mewujudkan impianku?

Jika kau masih berpikir begitu berarti kau belum menyadari kebahagiaan. Jika kau menyadari kebahagiaan kau tidak lagi cemas atau tergantung pada impianmu. Jika kau betul-betul bahagia dan mengalirkan kebahagiaanmu dari dalam ke luar, kau akan tahu bahwa kau bisa melakukan apapun untuk mengekpresikan kebahagiaan itu. Dan jika kau sudah sampai pada kesadaran itu, kau akan berhenti berangan-angan. Sebaliknya, kau akan menjalani hidup saat demi saat, waktu demi waktu, ke arah impianmu hampir secara naluriah. Kau akan mengalami suka cita di setiap langkahnya. Bukannya menunda kebahagiaan di saat ini demi kebahagiaan di masa depan. Tetapi menjalani kebahagiaanmu dan menghidupinya melaui perasaan, pikiran, perkataan, dan tindakanmu Sekarang juga. Dan aku berjanji, bersamaan dengan itu, kau akan berkembang ke arah pemenuhan yang lebih utuh, dan lebih utuh lagi.

Aku butuh waktu sedikit lebih lama untuk menyerap pesanmu yang satu ini. Rasanya, seperti kehidupan ideal.

Ya, Aku tahu kau menyukainya.

Terimakasih.

Sama-sama. (Itu bahasa yang kau pakai untuk menjawab terima kasih kan?)

Ya. Baiklah, aku butuh waktu untuk merenungi semua ini. Kita akhiri dialog kita di sini dulu ya. Nanti jika ada pertanyaan lagi, aku tak akan segan untuk bertanya.

Aku selalu ada untukmu.

Terimakasih, Tuhan. Kau adalah segalanya.

Dan kau adalah miniatur dari “segalanya”.

Wow.

-Dwiputra Agung

Versi Otentik (Article for Teen)

Kemanapun lu berputar, lu akan kembali jadi diri lu lagi. Karna cuma diri lu yang tau, mana yang nyaman dan gak nyaman buat lu. Mana yang pas dan gak pas. Mana yang cuma tuntutan situasi, mana yang betul-betul Passion. Mana yang dorongan Tren, mana yang otentik.

Semua yang palsu itu gak ada yang permanen, dan umurnya gak akan panjang. Ada masanya dimana kita lelah untuk terus berpura-pura jadi versi yang bukan kita. Kita bakal bosen berpura-pura suka sama hal yang sebetulnya kita gak suka. Kita bakal bosen sama semua “penyamaran-penyamaran” yang kita lakukan demi persetujuan orang lain.

Tuntutan dari luar itu cuma sebagian dari sumber inspirasi. Bukan sumber pengaruh. Kita masih tetep bisa ngelakuin sejuta peran tanpa berubah jadi orang lain. Masih banyak bagian otentik dari diri kita yang belum kita eksplor. Kita juga bisa ngembangin versi diri kita sejauh yang kita bisa kalo kita mau berhenti berbohong sama diri sendiri. Be the best version of You!

Gak ada seorangpun punya kuasa untuk ngelarang lu buat jadi diri lu sendiri, versi terbaik yang bisa lu ekspresiin. Versi lu yang paling fleksibel yang bisa lu bawa kemana-mana. Ketemu sama siapapun, nongkrong dimanapun, Enjoy every moment. Jangan pernah berpura-pura lagi.

Tingkatin bagian-bagian diri lu yang bisa ditingkatin. Gak perlu pura-pura lu udah nguasain sebuah bidang kalo lu baru tau sedikit tentang bidang itu. Tapi juga jangan minder. Jangan pernah lagi nutup-nutupin kalo kemampuan lu masih setengah-setengah. Tanpa jadi naif, kita bisa kok belajar apapun secara terbuka.

Lu mau bisa bahasa inggris, kursus bahasa inggris. Lu mau jago main gitar, ambil les gitar. Tapi tetep, semua harus bermula dari hasrat murni lu, bukan untuk kepura-puraan. Misalnya lu suka baca buku, terus lu nemuin buku-buku bagus yang bikin lu bergairah, tapi sayangnya buku yang lu hasratin itu cuma ada dalam versi bahasa inggris. Atau lu suka browsing blog, tapi informasi yang mau lu eksplor jarang yang berbahasa indonesia. Itu bakal jadi dorongan pribadi yang murni untuk lu ambil kursus bahasa inggris. So, kalo lu memutuskan untuk berhenti ikut-ikutan orang lain, lu akan punya banyak agenda. Lu akan sibuk ngejar apa yang betul-betul keinginan lu, bukan keinginan “musiman”.

Lu bukan budak dari tuntutan tren. Gua punya peribahasa, “Bibit bunga mawar tahu, kalo dirinya adalah potensi dari bunga mawar.” Gua yakin, ada banyak dorongan-dorongan di dalam diri lu yang selalu nimbulin hasrat ke arah mana lu mau maju. Itu adalah bibit lu, itu adalah potensi lu. Cetak biru dari versi diri lu yang terbaik. Jangan dianggap enteng, jadi diri sendiri adalah salah satu pencapaian terbaik dari menjadi manusia. Sisanya, lu boleh terinspirasi seseorang. Sah-sah aja kalo lu punya role model. Justru itu positif banget. Lu bisa lebih terdorong untuk maju kalo lu punya teladan. Tapi jangan terjerumus menjadi orang lain. Karna topeng yang lu pake ketika lu menjadi orang lain akan menghalangi potensi sejati lu untuk tumbuh. Itu sama aja dengan pembunuhan jati diri. Dan sejauh ini, pembunuhan jati diri adalah kasus terbanyak yang dialami pemuda. Makanya, gak heran kalo di luar kita sering ngeliat orang-orang yang “hampir sama”.

Gua harap, lu bersedia ngasih kesempatan untuk diri lu sendiri, dengerin kata hati lu. Kearah mana lu mau tumbuh, kearah mana lu mau melangkah maju. Gak ada kata hati yang menahan lu untuk berjalan di tempat. Jadi, ayo bangun dari zona nyaman lu. Belajar belajar belajar. Eksplor eksplor eksplor.

Semakin lu otentik, semakin lu keren.

-Dwiputra Agung-

The Three Ways To Live

Setelah melakukan observasi kecil-kecilan, saya menemukan suatu pelajaran yang akan saya bagikan dalam artikel kali ini.

Melaui Lingkungan sekitar, Media Sosial, dan buku-buku yang saya baca, Saya melihat ada tiga perbedaan mencolok yang dimiliki orang-orang, dimana ketiga tipe ini, memainkan perannya masing-masing dalam kehidupan. Secara sederhana, saya akan bilang, Ada tiga cara untuk menjalani hidup.

Let’s to the point :

Pertama, Mengikuti arus.

Bagi para Pengikut Arus, kemanapun arus itu membawa mereka tidaklah penting. Yang penting adalah banyaknya teman seperjalanan di sekeliling yang membuat mereka merasa aman. Lagipula, tidak memerlukan banyak tenaga untuk Mengikuti Arus. Mereka bisa menghabiskan waktu dengan bermain kartu, tanpa mendayung perahu, iya ‘kan? Tetapi kelemahan dari Mengikuti Arus adalah ketika arusnya semakin deras. Kemudian ada batu besar memblok jalur kita. Di titik ini, tak ada kesempatan lagi untuk bermain kartu. Kita harus menghadapi sesuatu yang nyata. Batu besar semakin mendekat sementara perahu-perahu yang kita tumpangi melaju semakin cepat. Tak seorangpun memiliki dayung, sebab dari awal, dayung tak terpakai dan sekarang hilang entah kemana. Tak ada peringatan, maka tak ada persiapan. Semua orang mulai memikirkan keselamatannya masing-masing. Beberapa perahu, tak terelakan, menghantam batu besar itu dan tertinggal di belakang. Sisanya, saling pandang dengan wajah pucat. Kemudian di depan mereka, sungai mulai bercabang dua, sekelompok perahu itu mulai terbagi dua ke kanan dan ke kiri. Perpisahan tak terhindari. Kemudian di kedua arus itu, sungai mulai bercabang lagi, dan terus bercabang lagi, hingga menyisakan satu aliran sungai kecil, yang dilalui satu perahu. Kini mereka terpisah secara sendiri-sendiri. Tak ada lagi permainan kartu. Yang tersisa hanyalah kesadaran untuk bertanya, akan kemana arus membawa mereka. Singkat cerita, semua aliran itu, bermuara di air terjun berbatu yang mematikan.
Yah, tak ada asuransi bagi para Pengikut Arus.

Yang kedua, Melawan Arus.

Nah, para Pelawan Arus ini bisa dibilang adalah para ekstrimis yang banyak menentang. Mereka melihat virus kebodohan yang menjangkit para Pengikut Arus. Biasanya para Pelawan Arus ini tidak berkelompok, walau ada beberapa komunitas yang menampung mereka. Tetapi sebagian besar mereka bergerak secara sendiri-sendiri. Para Pelawan Arus ini tahu bahwa aliran sungai akan membawa mereka pada bebatuan besar yang menghadang dan beberapa air terjun. Hampir bisa dipastikan orang yang mengikuti arus sungai akan mati sebelum sampai ke laut. Pelawan Arus biasanya adalah orang yang keras kepala, mereka berusaha seberbeda mungkin dengan kebanyak orang. Dengan caranya sendiri, mereka akan mendayung ke arah berlawanan dari aliran air. Awalnya, dengan semangat kuat, mereka akan terus mendayung dengan percaya diri, tetapi mudah ditebak mereka akan kelelahan setelah beberapa waktu. Jeda istirahat, berarti kembali mundur mengikuti Arus, yang artinya hampir mustahil untuk bisa bertahan sebagai Pelawan Arus. Kita bisa melihat dari komunitas-komunitas penentang bahwa ketika mereka mulai bosan dengan cara mereka, maka tak ada pilihan lain selain kembali mengikuti arus. Satu lagi hal penting dari kelompok ini, yaitu, kebanyakan para Pelawan Arus tidak memiliki visi tentang apa yang mereka tuju. Dan perlu diingat, satu-satunya motivasi mereka adalah menghidar dari Melawan Arus. Bukan untuk mencapai sesuatu. Mereka tahu bencana apa yang menunggu bagi para Pengikut Arus, tetapi mereka tidak tahu, apa yang menanti di depan sana bagi para Pelawan Arus. Jadi, ketika waktunya tiba, mereka akan kehabisan tenaga dan aliran air yang netral akan membawa mereka mundur menjadi kelompok pertama—Pengikut Arus.
Yaah.. Hasilnya sama saja, Tak ada asuransi bagi para pelawan arus.

Mungkin anda belum bisa menebak, alternatif apa yang memungkinkan seseorang untuk tidak menjadi Pengikut atau Pelawan Arus. Apa ada pilihan lain? Jawabannya adalah, ya. Alternatif ini adalah tempat tinggalnya orang-orang kreatif. Tempat tinggalnya para pemain kehidupan yang sesungguhnya.

Inilah yang ketiga, Menciptakan Arus.

Kita akan menyebut kelompok ini sebagai Pencipta Arus. Populasi mereka adalah yang paling sedikit di dunia. Dan perlu diketahui, orang-orang ini pada awalnya banyak mengalami penderitaan. Tetapi Sikap Mental mereka telah menjadi semacam sistem penuntun yang membawa mereka keluar dari arus dan menciptakan Arus baru.

Pada mulanya, mereka sama dengan sebagian besar orang. Mereka menjadi Pengikut Arus. Ditengah-tengah perjalanan, ketika sedang bersenang-senang di perahu tanpa mendayung yang mengalir mengikuti aliran sungai yang masih tenang, si calon Pencipta Arus merenung menatap ke depan. Ia mulai mempelajari banyak hal, dan menghitung-hitung, apa yang akan terjadi jika ia terus mengikuti Arus. Kemudian aliran sungai semakin deras, dia mulai mencium kemungkinan adanya air terjun di depan sana, juga bebatuan. Si calon Pencipta Arus ini, mengambil dayungnya yang sudah berdebu, dan mulai mendayung sekuat tenaga untuk melawan arus. Teman-temannya menanyakan tentang apa yang dilakukannya. Ia menceritakan semua kemungkinan mengerikan itu dan mengajak yang lainnya untuk melawan arus sebelum mereka digerus bebatuan, dan terhempas di ari tejun yang curam. Beberapa diantara temannya berpikir, yang lain menertawakan.

Salah seorang yang sedang berpikir mulai memperhitungkan kemungkinan yang diceritakan si calon Pencipta Arus ini. Tetapi ia menimbang-nimbang, betapa beratnya melawan arus, dan betapa sepinya jalan yang ditempuh. Mungkin jika semuanya setuju untuk melawan arus, dia akan ikut. Tetapi kalau cuma dua orang, lebih baik Mengikuti Arus. Toh, semua kemungkinan mengerikan yang diceritakan itu belum tentu benar. Dan jika memang benar, dia masih memiliki banyak teman untuk menghadapinya bersama-sama.

Akhirnya si Pelawan Arus ini menempuh perjalanannya sendiri sementara teman-temannya mulai menjauh. Di tengah perjalanan, ia melihat di depannya, seseorang dengan sekuat tenaga mendayung perahu ke arah yang sama dengannya. Dan jauh di depannya lagi, ada juga orang yang melakukan hal yang sama. Akhirnya dia tahu, dia tidak sendirian. Tetapi setelah beberapa lama, orang-orang itu mulai lelah dan kecepatan mendayungnya mulai berkurang. Tak terelakan, orang itu menyerah dan mengalir mundur, kembali mengikuti arus.

Yang berada jauh di depanpun tak berbeda nasibnya, ia mulai kehilangan kendali hingga dayungnya terpental, dan mulai menyerah, kembali mengikuti arus.

Si calon Pencipta Arus ini melihat kejadian itu dan mulai berpikir, jika ia melakukan hal yang sama, maka hasilnya tak akan jauh berbeda. Dia juga mulai kelelahan. Keringat menetes dari kening ke lehernya. Kecepatan mendayungnya semakin melambat. Dalam keadaan genitng ini, dia berpikir keras untuk mencari jalan lain. Akhirnya ia mendapat ide ketika melihat tepi sungai, “Kenapa aku tidak keluar dari arus ini?” Pikirnya. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya. Ia mendayung perahunya dengan gerakan menyerong. Butuh beberapa waktu, sebab mendayung ke tepi terasa jauh lebih berat ketimbang mendayung lurus. Ia hampir menyerah. Tetapi pandangannya yang terpaku pada rerumputan di tepi sungai itu membuatnya semakin kuat yang akhirnya membawanya selamat ke tepi sungai. Ia melompat dari perahunya dan terjatuh di rerumputan, dengan kaki tercebur ke air yang membasahi celananya.

Dia naik ke daratan dan duduk disana memandangi perahunya yang mengalir semakin menjauh dengan perasaan puas dalam kesendiriannya yang menjanjikan. Kemudian, dia mulai mengambil cangkul dan membuat sungainya sendiri. Dia berpikir, siapapun yang menciptakan arus yang tadi dia jalani, bukanlah sebuah kewajiban baginya untuk mengikuti arus yang sama. Mungkin arus itu cocok bagi orang yang dulu menciptakannya, tetapi setelah berabad-abad, pastilah banyak bebatuan yang membahayakan menghalangi jalan. Jadi dia terus mencangkul sambil membayangkan arusnya sendiri, dengan tikungan-tikungan yang sesuai keinginannya. Dia juga membayangkan, tujuan akhir arusnya adalah muara yang indah, dengan taman-taman dan bukit-bukit kecil.

Ditengah pekerjaannya banyak para pengikut arus yang melewati dan melihatnya. Beberapa menganggapnya aneh, beberapa menertawakannya. Tapi dia tak peduli.

Sekilas yang tampak adalah, para pengikut arus itu merupakan kelompok orang-orang yang hidup nyaman, bersandar di perahu tanpa mendayung. Dan di tepi sungai, seseorang dengan pakaian kotor bekerja keras menggali tanah yang membuatnya dibanjiri keringat dan tampak seperti “orang susah”.

Tetapi itu hanya bagian luarnya. Di dalam pria itu, ada semangat dan kejelasan visi yang tak dimiliki para Pengkut Arus itu. Di dalam hatinya hanya ada muara sungai yang indah.

Setelah beberapa lama mencangkul, ia mendapat ide untuk mempekerjakan orang lain untuk membantunya. Jadilah mereka sebuah kelompok Pembuat Arus. Kemudian, waktu demi wakti berlalu. Ide semakin berdatangan, hingga ia menyewa traktor untuk menggali tanah. Di titik ini, para Pengikut Arus yang lewat hanya memandang proyek itu sebagai proyek orang-orang terpilih. Tak banyak orang yang memiliki kesempatan untuk melakukan hal yang sama.

Beberapa tahun berlalu, sungai telah selesai di buat. Tanpa bebatuan, tanpa air terjun. Hanya tikungan-tikuang biasa yang membuat perjalanan lebih menggembirakan. Perahu sudah di buat. Dan si pencipta arus ini, mulai menceburkan perahunya ke air. Di ikuti para pekerjanya yang siap untuk mengikuti Arus baru. Dia jadi orang besar yang arusnya akan diikuti banyak orang dari zaman ke zaman.

Para pencipta Arus ini adalah Soekarno, Abraham Lincoln, Thomas Alpha Edison, Buddha, dan banyak lagi orang besar yang menyumbangkan Sungai kehidupannya pada dunia.

Ciri-ciri dari ke tiga kelompok

Jika anda ingin tau ada di posisi yang mana anda berada, mari kita tinjau satu per satu :

1.) Pengikut Arus

-Cenderung tidak bisa megontrol Reaksi. Maksudnya, mereka senang jika mendapat sesuatu yang menyenangkan, dan mereka kecewa jika dihadapkan pada sesuatu yang tidak sesuai harapan. Mereka tak pernah mau belajar untuk mengambil tanggung jawab pada kondisi yang mereka alami, atau mengontrol reaksi mereka.

-Menunjuk orang lain sebagai biang keladi dari kemarahannya, kekecewaannya, dan semua sikap negatifnya.

-Tidak tahu dengan jelas apa yang diinginkannya, juga tidak benar-benar tahu apa yang menyebabkan hal-hal tidak menyenangkan terjadi dalam hidup mereka. Mereka tidak mengambil kendali hidup mereka sendiri.

-Apatis. Artinya, ia tidak optimis, juga tidak pesimis. Sebab ia hanya mengalir, tanpa mempedulikan tujuan.

2.) Pelawan Arus

-Cenderung bersikap keras. Pengeluh. Mereka adalah pengkritik ulung yang menemukan kesalahan dimana-mana.

-Sangat tahu apa yang tidak diinginkannya. Tetapi mereka tidak memiliki gambaran jelas tentang apa yang betul-betul diinginkan.

-Biasanya akan berakhir menjadi Pengikut Arus. Tetapi dengan gaya yang berbeda. Mereka akan menjadi pengikut arus yang menjaga imej, sebab tidak mau termakan perkataannya sendiri.

-Pesimis. Ia melihat kesalahan dan keburukan dimana-mana. Bahkan ia juga merasa jalan yang ditempuhnya termasuk jalan yang buruk.

3.) Pencipta Arus

Explorer. Mereka suka mengeksplorasi banyak hal. Mereka tak pernah bosan untuk belajar. Memperluas pengetahuan.

-Sangat tahu apa yang diinginkan. Mereka melatih kemampuan untuk bisa melihat dengan jelas masa depan yang ingin mereka ciptakan.

-Terkadang harus berjalan sendiri tanpa seorang pendukungpun. Tetapi sikap mental positif yang dimilikinya, cukup untuk memberi keyakinan bahwa segalanya akan membaik.

-Optimis. Mampu melihat sisi terang di situasi apapun.

-Tidak menyalahkan orang lain atas kondisi negatif yang terjadi. Tetapi juga tidak membeci diri sendiri. Hanya mempelajarinya, untuk hasil yang lebih baik di kemudian hari.

-Pemilih. Mereka tidak akan mempercayai pemikiran-pemikiran pesimistis.

-Karakter yang kuat. Tidak peduli apa yang terjadi di sekitar, Para Pencipta Arus selalu melihat ke dalam, dimana ia menciptakan gambar mental tentang segala sesuatu yang diinginkan.

-Tegas. Tidak keras, juga tidak lembek.

Mungkin masih banyak ciri-ciri yang lain. Tetapi itulah ciri-ciri pokok ketiga tipe orang yang menjalani hidup dengan berbeda cara.

Yang pertama adalah Mayoritas penduduk bumi dimana Arus dari luar adalah kekuatan utama yang menggerakan mereka. Anda bisa melihat mereka dimanapun.

Sementara yang kedua adalah para penentang. Entah dalam hal Fashion, musik, pergerakan buruh, atau diktator sekalipun, mereka hampir selalu gagal mempertahankan cara mereka. Atau setidaknya, cara merekalah yang membawa mereka pada kematian. Hitler adalah contoh ekstrim dari kelompok ini.

Dan yang ketiga adalah Kaum Minoritas. Orang-orang menganggap mereka sebagai manusia ajaib karena mampu mewujudkan mimpi-mimpi besarnya. Walt Disney andalah satu diantaranya.

Dari banyak contoh di atas,
Yang manakah anda?

IDEMATIKA

“Kemauan yang kuat adalah satu hal yang bisa menarik apapun yang diperlukan untuk terwujudnya kemauan itu.”

“Woooooyy! Banguuun!!! Ini dunia NYATA.” Itulah kalimat favorit yang diucapkan Alisa setiap kali aku mengakhiri cerita panjang lebarku yang nyaris menghabiskan hampir sebagian besar waktu kami di hari libur keluarga.

Alisa adalah sepupuku. Hampir setiap hari minggu dia dan keluarga menjalani liburan di rumah kami. Bukan kebetulan kalau kenyataannya nama ku adalah Delisa, karena ibunya dan ibuku adalah adik kakak. Jadi mereka tentu sudah janjian sebelum menamai kami yang lahir hanya berbeda tiga hari. Berharap kami seperti saudara kembar.

Yah, secara fisik, mereka berhasil. aku dan Alisa memang mirip. Tinggi badan yang melebihi umur kami, model rambut yang lurus berponi, mata sipit, dan… Kurus. Ya, berat badan kami sama, 47 kilogram. Cuma pipi kami saja yang agak berbeda. Pipi Alisa cenderung lebih cekung. Tetapi itu luarnya. Cuma cangkang. Di dalamnya, kami bertolak belakang seperti jarum kompas. Aku bisa dibilang adalah seorang pemimpi yang meyakini bahwa satu ditambah satu bisa jadi sejuta. Tetapi bagi Alisa yang cerdas, matematika adalah segalanya dan sifatku terhadap mata pelajaran itu membuatnya sebal. Aku lebih suka mengarang cerita dalam pelajaran Bahasa Indonesia, atau menggambar dalam Seni Rupa. Dan tentu saja, Alisa yang Maha Cerdas menganggap pelajaran kesukaanku adalah pelajaran yang cuma pantas dipelajari anak TK. Dia lebih tertarik pada Fisika, Matematika, Ekonomi.. dan semacamnyalah.

Kami Kelas 2 SMA tetapi berbeda sekolah. Sebetulnya dia ingin sekali satu sekolah denganku, mungkin untuk memamerkan kecerdasannya di kelas. Tetapi jarak rumahnya dua jam dari rumahku. Cuma hari-hari libur seperti inilah kesempatannya untuk pamer apa yang diketahuinya tentang rumus-rumus memusingkan yang setiap kali aku harus berpura-pura serius mendengarkannya.

Kami sedang bermalasan di kamarku. Tak ada yang kami lakukan selain tiduran, ngemil, dan bercerita. Aku baru saja selesai bercerita mengenai keinginanku untuk menjadi penulis novel sekaligus penulis komik. Aku membayangkan bisa memiliki banyak karya. Aku juga ingin membuat perpustakaan yang semua buku bagus di dunia ada disitu. Termasuk komik. Dan selama aku bercerita, ternyata Alisa sibuk menghitung. Dia menjumlah, mengurangi, membagi, mengkali, dan memutuskan bahwa aku tidak bisa mendapatkan impianku.

“Gak mungkin Deli,” Katanya dengan nada seperti ibu yang mengajari anak balitanya untuk tidak berbohong. “Kamu mungkin aja pilih salah satu. Jadi penulis novel misalnya. Itu juga butuh perjuangan. Kemungkinannya fifty-fifty. Bisa tercapai, bisa nggak. Terus, soal jadi penulis komik, di Indonesia itu gak bakal hidup. Emangnya di Jepang. Kalo kamu ngejar satu cita-cita jadi penulis Komik aja hitungan kemungkinannya jadi 90 banding 10. 90 persen kemungkinannya gak bakal tercapai, karena profesi jadi komikus gak bakal bisa ngidupin kamu di Indonesia. 10 persennya kamu bisa mencapai itu kalo kamu udah kaya raya banget dan menulis komik cuma sebagai Passion aja. Bukan nyari penghasilan. Apalagi ditambah kamu mau bikin perpustakaan umum super lengkap. Kalo ketiganya kamu pikir bisa kamu capai, mending kamu hitung-hitungan dulu deh. Biar gak kecewa, udah ngayal tinggi-tinggi, eh gak taunya gak ada yang kesampean satupun.”

Kupingku panas. Aku yakin, itu hanyalah bukti dari semangatnya untuk pamer kemampuan hitung-menghitung. Wajahnya tampak puas seperti baru saja menembak burung yang terbang dan tepat mengenai sayapnya. Lama aku terdiam. Bukan menimbang-nimbang sarannya, tetapi mencari solusi untuk membuktikan bahwa aku bukannya salah karena dia benar. Tepat ketika Alisa membuka mulut bersiap menembak lagi, aku mengangkat sebelah tangan kearahnya karena sebuah ide telah menembak kepalaku sedetik lebih cepat.

“Begini saja,” Kataku. “Pembuktiannya ada di masa depan. Aku gak bisa membuktikan semuanya sekarang, oke?”

“Delisa,” Dia memotong dengan nada memanjakan yang mulai membuatku muak. “Jangan jadi anak kecil terus. Kita udah kelas 2 SMA. Tahun besok kelas 3, terus ujian dan lulus. Ini masanya menjelang Dewasa.”

“Bagus, kalo emang ‘Dewasa’ itu sebentar lagi.” Suaraku mulai agak bergetar bercampur emosi yang segera ku redam. “Dengerin aku dulu. Aku tahu kamu bener dengan semua hitung-menghitungmu yang super canggih itu. Tapi bukan berarti aku salah karena gak pake cara pikir yang sama.”

“Maksudnya?”

“Maksudnya aku mau bilang. Panggil aku Idealisa, sang Pemimpi yang Idealistis. Dan kamu harus mau aku panggil Realisa, sang cerdas yang Realistis. Gimana?”

Menghitung lagi, Pikirku, ketika melihat Alisa memejamkan mata tanda berpikir keras. “Kamu dapet ide itu dari mana?” Aku memutar bola mata ke atas.

“Emangnya kenapa?”

“Itu pas banget tau. Nama kamu Delisa jadi Idealisa. Cuma ditambah I dan A. Namaku Alisa jadi Realisa, Cukup ditambah R dan E didepan…”

Dasar, Ratu menghitung.

“Darimana kamu dapet ide itu?” Lanjutnya.

“Ilham.” Jawabku singkat.

“Ilham? Siapa tuh Ilham?”

“Yang jelas bukan guru Matematika.”

“Idenya bagusssss. Aku setuju sama si Ilham.”

“Deal?” Aku menyodorkan jari kelingkingku. Alisa diam dua detik yang kuduga digunakannya untuk menghitung seberapa panjang kelingkingku.

“Deal.” Jari kelingking kami terkait. Untuk pertama kalinya aku merasa bahwa aku tidak lebih bodoh dari Alisa. Tepatnya, sekarang kami di posisi yang sama. Dia yang mempercayai semua yang bisa di hitung adalah remaja realistis yang cerdas. Dan aku yang mempercayai kilauan-kilauan cahaya masa depan yang tak berumus adalah remaja idealis yang optimis.

Kami sejajar. Aku Idealis, Dia Realistis.

Aku tak peduli soal pembuktian menang dan kalah. Hanya saja, rasanya lebih lega jika kita di akui, walau dalam hal menyarankan perjanjian aneh seperti ini. Hari ini, kami sepakat sebagai orang yang berlawanan tetapi setara. Dan aku senang menyadari itu.

“Delisa?”

“Idelalisa.” Aku mengkoreksi.

“Oh, ya.. Idealisa?”

“Apa?”

“Aku baru saja terpikir sesuatu.”

“Tentang apa?”

“Sebetulnya kamu bisa mendapatkan ketiganya.”

“Ketiganya?”

“Iya, ketiga impianmu.”

“Bagaimana caranya?” Tanyaku penasaran pada gagasannya.

“Dengan tidak banyak menghitung.”

Sungguh diluar dugaan kata-kata itu keluar dari mulut Alisa yang baru saja berganti nama menjadi Realisa.

“Dengan tidak banyak menghitung?” Ulangku.

“Ya, aku mengamati. Ide kamu barusan itu bagus.”

“Apa hubungannya?”

“Ya, nama yang kamu bikin buat kita. Semuanya tanpa menghitung ‘kan? Tapi tepat. Aku bingung ngebayangin dari mana asalnya ide. Datangnya tiba-tiba, tanpa diundang, tapi tepat. Delisa, Idealisa. Cocok sama sifat kamu. Dan Alisa, Realisa…”

“Ah, kamu masih aja menghitung hal-hal yang gak penting.”

“Bukan cuma itu, aku juga takjub sama itu.” Dia menunjuk sebuah gambar manga berbingkai di dinding sebelah jendela kamarku. Kamu gak pake rumus ‘kan?”

Aku terdiam. Aku menggambarnya memang tidak asal menggoreskan pensil ke kertas. Awalnya aku membuat pola lingkaran, dan garis-garis penghubung untuk membuat tubuh, kemudian baju, dan arsiran sebagai akhirannya.

“Sebetulnya menggambar ada rumus dan hitungannya juga,” Kataku. “Tapi kok aku baru sadar ya? Soalnya selama ini aku menggambar karena suka aja. Jadi gak kepikiran tuh yang namanya rumus-rumusan.”

“Itu dia,” Kata Alisa. “Karena kamu suka, makanya yang namanya hitung-menghitung jadi otomatis.”

“Otomatis?”

“Iya. Karena rasa suka kamu sama menggambar lebih besar ketimbang kenyataan tentang keterbatasan kemampuan kamu. Jadi, intinya, Rasa suka yang besar itu menuntut terjadinya karya dan menarik ide dalam prosesnya yang membuat kamu ngejalanin langkah demi langkah tanpa sadar kalo itu adalah rumus menggambar.”

Aku terdiam sejenak. “Kamu gak lagi ngomongin rumus matematika ‘kan?”

“Lebih dari itu. Ini rumus Idematika. Lihat, itulah hasil dari kemauan.” Matanya tertuju ke karyaku dengan pandangan berbeda dari sebelumnya.

“Kemauan yang kuat adalah satu hal yang bisa menarik apapun yang diperlukan untuk terwujudnya kemauan itu.”

“Wow. Itu kata-kata yang bagus.” Ucapku tulus. Aku tak menyangka, Alisa bisa menerjemahkan apa yang bagiku tak terjemahkan. Gaya hitung-menghitungnya sudah mulai lebih canggih rupanya. Aku sangat mengerti dalam hal ini. Mungkin rumus inilah yang paling bisa ku mengerti dari sekian banyak rumus di dunia ;

‘Kemauan yang kuat adalah satu hal yang bisa menarik apapun yang diperlukan untuk terwujudnya kemauan itu.’

Aku tak menyangka, ternyata aku bisa tulus merasa takjub pada kemampuan Alisa.

“Aku takjub pada kemampuanmu.” Katanya tiba-tiba. “Dengan memiliki kemauan kuat, ketiga mimpimu itu pasti gak mustahil. Selagi kamu pake rumus yang sama.”

Aku tertawa. “Jadi, apa kamu tetap Realisa?”

“Ya, aku adalah Realisa yang mempercayai kenyataan. Kenyataannya, impian itu bisa tercapai dengan rumus yang pasti.” Dan dia membalas dengan berkata, “Dan kamu? Apa kamu Idealisa?”

“Ya, aku Idealisa yang mempercayai mimpi. Mimpi yang bisa dicapai dengan berbekal kemauan yang kuat seperti kemauanku untuk menciptakan pajangan indah itu.” Aku menunjuk gambar berbingkaiku lagi.

“Tunggu, tunggu.”
“Apa?” Pasti menghitung lagi.
“Kalo dipikir-pikir, biarpun kalimatnya beda, kok maksudnya sama ya. Realisa yang percaya mimpi bisa dicapai dengan rumus yang pasti dan Idealisa yang percaya mimpi bisa dicapai dengan kemauan kuat. Itu ‘kan emang rumusnya.”

Aku tertawa geli ketika menyadari sesuatu, “Mungkin karena Idealisa memberi pengaruh pada proses hitung-menghitung Realisa, dan Realisa memberi Idealisa pengaruh dengan rumus barunya.”

“Tepat.”

“Tepat.” Ulangku.

“Jadi apa bedanya? Bukannya kita bertolak belakang?” Tanyanya dengan mata memandang ke langit-langit kamarku.

“Bedanya, kamu tetap menghitung, aku tetap mengkhayal. Biarkanlah Idealisa dan Realisa saling memberi pengaruh.”

Aku menyadari ekspresi Alisa berbeda dari ketika dia menceramahiku tentang ketidakmungkinanku mencapai ketiga impian. Dia diam menerawang, dan berkata setengah berbisik.
“Ya kamu benar.”

Ketika matahari semakin turun di barat, Alisa dan keluarganya pamit pulang. Malamnya, menjelang tidur, aku mendapat BBM darinya :

“Hey, Idealisa. Aku dapet rumus baru. 90M&M+10*=MT artinya 90 persen ber-Mimpi dan berke-Mauan ditambah 10 persen menarik semua proses dengan otomatis tetapi sistematis sama denga Mimpi yang Terwujud. Maksudnya, Bermimpi dan Berhitung itu perlu untuk mencapai impian, tetapi lebih banyaklah bermimpi daripada menghitung. Maka, apa yang perlu dihitung akan terhitung dengan sendirinya. Gimana? Bagus ‘kan penemuanku?”

Aku menggelengkan kepala dan berdecak kagum pada layar handphone-ku. Benar-benar Ratu Rumus. Dan sepertinya mulai hari ini aku akan menyukai rumus juga. Tetapi bukan Matematika, apa namanya tadi?

Oh, ya, penggabungan otak Idealis dan Realistis,

Idematika.

-Dwiputra Agung-

Cinta Dalam Cangkir

1970416_742586739092885_1851931862_nBagiku hal terbaik untuk memulai hari adalah dengan memvisualisasikan visi di dalam benak dengan tenang, bersyukur akan hari baru itu, kemudian mengisi cangkir kecil yang bening dengan kopi putih panas yang mengepulkan asap tipis beraroma pekat. Hmm.. Bisa kau bayangkan aromanya?—semoga.

Bangun lebih pagi membuatku tidak perlu buru-buru untuk menghadapi dunia luar. Setelah mandi dan sedikit sarapan adalah waktu yang ideal untuk menghirup aroma kehidupan yang menguar dalam asap magis sang kafein. Dibutuhkan sedikit waktu penurunan suhu tentunya, untuk menyesapnya agar kerongkongan kita tidak terbakar, tetapi tidak perlu menunggu, karena bagiku kopi memiliki pasangan yang bisa langsung dinikmati tanpa menunggu. Dan itu adalah buku.

Inspirasi pagi diperlukan sama halnya dengan air bagi tanaman. Membaca beberapa paragraf dengan kata-kata pemberdayaan selain menambah kekuatan, juga membuat waktu menunggu jadi tidak terasa. Tiba-tiba saja aku meraih cangkir mungilku dan entah kenapa, ada rasa yakin, bahwa kopi putihku sudah tidak terlalu panas untuk dicecap.

Tahukah kau? Ada momen “wow” sederhana ketika pertama mencecap kopi pagi. Segala bulir-bulir kecemasan dan ketergesahan menguap bersama asap dari dalam cangkir, dunia jadi tampak lebih ramah dan santai, hembusan udara pagi tidak pernah “alfa” untuk menyampaikan pesan “santai saja” pada siapapun yang memutuskan menemani diri dengan secangkir kopi untuk memulai harinya. Dan yang paling penting dari semua itu adalah ada perasaan cinta yang terasa di lidah bagian belakang setiap kali mencecap kopiku.

Kadang-kadang aku menutup bukuku dan terdiam sendiri memperhatikan cangkir cantik yang bertengger patuh di tepi meja teras. Memperhatikan kepulan asap yang tidak tergesa-gesa untuk terbang ke atas, bergerak dengan anggun bagai tarian alami yang diajarkan langsung oleh Tuhan si raja seni. Aroma khas yang menguar menusuk indera penciumanku dan menyusup ke otak, kemudian menumbuhkan taman bunga di sana. Sungguh menggermbirakan mengalami fenomena kecil ini. Lalu terbersit perasaan bahwa sangat disayangkan keluargaku yang terbiasa dengan irama sibuknya di pagi hari tidak menyadari momen “seajaib” ini. Andai saja mereka lebih santai sedikit, tarian si asap pasti tak akan luput. Tempo irama mereka juga pasti lambat laun akan menurun sejajar dengan irama kepulan asap kopiku.

Ketika aku menghabiskan kira-kira setengah jam untuk ritual pagi, tiba-tiba saja punggungku sudah ditumbuhi sayap. Sepasang sayap ini siap mengantar kemanapun aku mau seharian penuh. Jadi, seperti penandatanganan penyewaan pada perusahaan para malaikat yang menyewakan bermacam-macam sayap. Cukup dengan secangkir kopi sebagai persyaratannya maka aku sudah diberi hak milik untuk menggunakan sepasang sayap malaikat selama kurang-lebih dua belas jam. Keren ‘kan?

Bagiku secangkir kopi pagi itu bagaikan pegas yang melontarkan semangat ke tingkat yang setinggi mungkin. Kopi pagi juga bagaikan alat penekan yang menurunkan ketergesahan ke tingkat yang serendah-rendahnya. Dan pesan inti dari kopi bagiku adalah, terdapat cinta yang pekat yang tidak bisa disembunyikan dari aromanya. Dia menciptakan keseimbangan antara tubuh, pikiran, dan jiwa.

Sayang sekali jika dalam hidup ini kita tidak menjalin relasi dengan secangkir kopi.

Bagaimana menurutmu?

-Dwiputra Agung-